Saturday, November 10, 2007

I dont have family name

Menurut kakak saya nama saya pernah diganti sekali. Waktu pertama kali lahir, kata kakak saya, nama saya Abdullah. Nama ini adalah pemberian dukun beranak yang menolong ibu saya melahirkan saya. Beberapa waktu berselang, masih menurut kakak saya, nama saya diganti orang tua menjadi Alfian. Alasannya, masih menurut kakak saya, nama Abdullah itu terlalu 'besar' buat saya, jadi orang tua saya takut anaknya keberatan nama.

Terus terang saya meragukan kebenaran cerita kakak saya tersebut. Dulu waktu saya masih kecil dia juga pernah cerita bahwa sesungguhnya saya bukanlah anak kandung ibu dan bapak saya. Waktu masih bayi saya ditemukan oleh orang tua saya sedang menangis di bawah rumpun bambu di pinggir kali belakang rumah. Karena kasihan akhirnya orang tua saya mengangkat saya menjadi anak mereka. "Tetapi kamu nggak perlu mencari orang tua kandung kamu, nanti ibu dan bapak marah," bisik kakak saya meyakinkan. Sayangnya kakak saya tinggal di Aceh. Mungkin kalau tinggal di Jakarta dia sudah dikontrak buat menulis skenario ratusan episode sinetron produksi Raam Pundjabi. Hanya satu informasi dari dia yang layak dipercaya, dari awal nama saya hanya satu kata: Alfian.

Saat masih SMA, seorang guru bahasa arab pernah meledek nama saya. "Dalam bahasa arab, alfi itu artinya seribu, jadi kalau alfian, artinya seribuan, murah sekali ya," ujar guru bahasa arab tersebut disambut ledakan tawa seisi kelas. Sialan. Saya cuma bisa mengumpat dalam hati.

Nama yang cuma satu kata itu ternyata menjadi sedikit masalah saat saya menempuh pendidikan di Belanda. Family name menjadi identitas penting buat masyarakat barat. Orang-orang Indonesia yang namanya terdiri dari dua kata bisa gampang mengakali. Jadikan saja nama belakang sebagai family name, semua urusan lancar. Sedangkan saya tidak bisa, nama saya cuma Alfian. Setiap mengisi pertanyaan tentang 'family name' di formulir aplikasi, saya selalu menambahkan keterangan: I dont have family name, please refer to my passport. Meski sudah diberikan keterangan demikian, tetap saja ada yang tidak bisa mengerti kenapa ada orang yang tidak punya nama belakang.

Suatu hari saya menerima surat dari Universiteit Van Amsterdam, mereka memulai surat dengan sapaan: Dear Mr. Alfian Gedung Gatra! Duhhh...

Banyak sekali pertanyaan yang sudah diajukan oleh orang-orang di Belanda tentang nama saya yang cuma satu kata itu. Setiap ganti modul kuliah, dosen saya berganti juga. Akibatnya saya kembali harus menjelaskan bahwa saya tidak punya nama belakang.

Chat di YM

Berikut ini petikan chat singkat saya dengan seorang teman di YM. Ini merupakan kontak pertama kami setelah kurang lebih 2 tahun tidak bertukar kabar.

Teman : Alfian ya?
Saya : Iya, ini **** ya, apa kabar?
Teman : Baik, Alfian gimana?
Saya : Alhamdulillah, baik juga.
Teman : Sudah punya calon?

Bujubuneng, semangat chat gw langsung ilang. GRHHHHHH!!! Pertama, kalau mau tanya itu A, B, C, lalu D, dst. Bukan dari A langsung lompat ke Z. Kedua, pertanyaan2 begini kalau diajukan oleh orang asing akan sangat mengintimidasi. Huh! (kesel mode on).

Berikut ini cuplikan chat yang lain. Satu kampus, tapi tidak komunikasi intens, cuman saling senyum. Sudah 5 tahun tidak bertemu dan tidak juga saling kontak. Sebenarnya, ungkapan "fellow student" lebih tepat daripada "friend". Namun kita mudah sekali menggunakan istilah "teman".

Teman: Alfian, apa kabar?
Saya : Baik, **** apa kabarnya?
Teman: Baik juga.Alfian ambil jurusan apa sih?
Saya : Media Culture
Teman: Alfian, pacarnya anak mana sih?
Saya : Hehehe(What the fuck!???? -tenang ini cuman dalam hati doang kok).
Teman : Jangan-jangan kuliah disitu juga ya?
Saya: Hehehe (So what!? -ini juga dalam hati doang kok).
Teman : Dulu cowokku orang aceh juga loh!
Saya : (lagi) Heheheh (Did I ask you? -ini nyaris keluar kemulut).
Teman : Eh, males ya ngebahas beginian?
Saya : (akhirnya gw kagak tahan). sorry ya itu kan pribadi banget.

Saat usia melebihi 25 banyak yang panic mode on karena belum menikah atau bahkan belum punya calon. Lucunya, terkadang keberadaan pasangan atau calon pasangan cuman atribut buat sosial status, buat ditenteng2 pas ada resepsi pernikahan, biar ga bingung jawabnya kalau ada yang nanya. Sebegitu desperatenya kah?

Saya lebih menghargai orang yg buru2 menikah karena udah kebelet dan takut zina daripada yang nyari algojo buat dipamer-pamerin. Anyway, apapun motivasinya bukan urusan gw kali ya. Hanya saja, kalo loe panic karena belum menikah itu urusan loe, jangan rese urusan orang. Keep in mind, ada batasan yang tegas antara peduli dengan rese.

Maastricht, April 29, 2007

Spring Inspiration

Gerimis. Saya nyaris menarik kembali selimut dan membenamkan diri dalam-dalam di tempat tidur. Lupakan saja rencana jalan-jalan itu, toh apa asyiknya kehujanan menyusuri bukit. Tetapi tumpukan buku-buku yang menggunung di atas meja menghalangi niat saya. Sudah seminggu bahan-bahan thesis itu tidak tersentuh. Sudah seminggu pikiran saya macet. Semalam saya berpikir mungkin sedikit jalan-jalan akan memompa kembali semangat saya buat menulis. Akhirnya, meskipun diluar gerimis masih agak-agak mengundang, saya merapatkan jaket dan memutuskan meninggalkan kamar yang terasa makin sempit beberapa hari ini.

Tujuan perjalanan kali ini adalah Megraten-Gulpen, arah timur Maastricht. Daerah ini merupakan habitat asli Korenwolf, hamster yang namanya diabadikan menjadi merk terkenal bir, 'Gulpener Korenwolf'. Saat ini sudah agak sulit menemukan makhluk lucu itu disana. Tetapi areal perbukitan dimusim semi tetap menjadi tempat menarik untuk dijelajahi.

Megraten bisa diakses dari Maastricht dengan menggunakan bis. Dengan membayar 6 euro anda bisa mendapatkan tiket return untuk dua orang. Sepanjang perjalanan saya terus berharap agar gerimis segera reda. Tinggal di Belanda memang harus lihai menyiasati iklim. Cuaca bisa berganti dengan sangat ekstrem. Meski pagi hari matahari terlihat garang, bisa jadi siangnya cuaca dingin menggigit. Saya pernah beberapa kali menggigil kedinginan gara-gara salah kostum. Orang Belanda sendiri selalu menyempatkan membuka ramalan cuaca sebelum mereka bepergian. Cuaca juga selalu menjadi topik pembuka pembicaraan paling aman saat baru pertama kali mengenal seseorang.

Setelah kurang lebih setengah jam di dalam bus, akhirnya kami pun tiba ditempat tujuan. Areal perbukitan dengan pohon-pohon yang masih mengering sisa musim gugur terbentang di hadapan kami. Musim semi yang baru datang telah membangunkan rumput dan semak membuat areal perbukitan itu terlihat unik. Hijau subur dipermukaan, coklat mengering di bagian atas.

Megraten, Gulpen dan Maastricht termasuk dalam wilayah Provinsi Limburg, salah satu daerah berbasis katholik di Belanda. Dalam perjalanan ke bukit kami menemukan beberapa monumen berbentuk salib setinggi kira-kira satu meter. Monumen ini dibangun oleh komunitas gereja setempat. Terkadang untuk menunjukkan adanya kecelakaan mematikan ditempat tersebut, tetapi sebagian dibangun untuk memuji keagungan Tuhan. Monumen salib yang dikenal dengan nama Wegkruis (Road Cross) ini sangat gampang ditemukan di wilayah Limburg dan sekitarnya yang masih berada dalam pengaruh katholik.

Biasanya diakhir pekan daerah ini didatangi banyak pengunjung. Tetapi hujan membuat jalan setapak yang menghubungi kaki bukit dengan puncaknya terlihat sepi. Keluarga Ree, sejenis kijang, yang mengintip malu-malu menjadi teman jalan kami. Areal perbukitan yang dikelola Stichting het Limburg Lanschape ini menjadi rumah bagi hewan-hewan liar. Sepanjang jalan kami menemukan banyak jejak cerpelai yang berlalu lalang. Sayangnya si hamster yang terkenal itu belum juga kelihatan batang hidungnya.

Kekecewaan kami sedikit terobati saat mendengar kicauan merdu seekor burung. Menurut Roel Bosch, pemandu perjalanan kami, suara tersebut berasal dari burung Vink yang selain berkicau lumayan merdu dapat juga dilatih berbicara. Sampai tahun 1950, penduduk Limburg masih suka memelihara burung ini didalam sangkar. Tetapi setelah itu aturan kepemilikan burung ini diperketat pemerintah Belanda. "Pemilik harus memiliki dokumen bahwa burung tersebut menetas didalam sangkar bukan ditangkap dari habitatnya," Roel menerangkan.

Kami beruntung Roel menjadi pemandu. Pria yang sehari-harinya pendeta ini ibarat wikipedia berjalan. Dia bisa mengidentifikasi setiap burung yang didengar dan bisa menjelaskan sejarah dan legenda setiap benda yang disentuh. "That is a family desease," ujar Roel sambil tertawa saat saya bertanya darimana pengetahuan sebanyak itu diperolehnya. Waktu itu dia baru saja menjelaskan bahwa diakhir perang dunia pertama, kawat berduri berganti fungsi dari benteng pertahanan menjadi alat pertanian.

Saya benar-benar memanfaatkan keahlian Roel dengan menghujaninya begitu banyak pertanyaan tentang tumbuhan-tumbuhan yang kami temui sepanjang perjalanan. Cerita tentang tumbuhan-tumbuhan itulah yang coba saya dokumentasikan dalam tulisan ini.
Tumbuhan pertama yang ditunjuk Roel adalah rumpun menjalar dengan daun berbentuk oval dan bunga berwarna kuning. Dalam bahasa Belanda tumbuhan ini bernama Speenkruid. Orang Belanda jaman dulu suka menjadikan umbi tanaman ini sebagai campuran makanan bayi yang baru disapih dari ibunya. Bermunculannya beragam produk makanan bayi instan membuat praktek ini sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Belanda.

Tumbuhan lain yang juga dijadikan campuran makanan adalah Sleedorn, pohon dengan ranting dipenuhi bunga putih cantik. Tanaman serupa pernah saya lihat di dekat guest house tempat saya tinggal. Pohon ini tidak berdaun, seluruh rantingnya dipenuhi bunga-bunga putih seukuran kuntum melati. Bunga tanaman ini sering dipakai sebagai bahan campuran untuk membuat applemoes, bubur bayi dari buah apel yang dihaluskan. Menurut saya, pesona utama tumbuhan ini tetap pada sosoknya, hanya ranting bertabur bunga, sekilas mengingatkan pada sakura. Tanaman ini pasti akan jadi properti yang indah dipanggung teater.

Berbicara tentang keindahan, maka yang keluar sebagai pemenangnya adalah Daffodil, semak setinggi 30 cm dengan bunga kuning merekah. Semenjak musim semi datang saya sudah menyaksikan tumbuhan ini tiba-tiba saja bermuncula dibeberapa sudut Maastricht. Rupanya selama autumn dan winter benih Daffodill terus mengecambah dibawah permukaan tanah.

Dalam bahasa Belanda, dan juga dalam bahasa latin, Daffodil ini dikenal dengan nama narcis, nama ini berakar dari tokoh dalam mitologi Yunani, narcissus atau narkissos. Dalam legenda Yunani, narkissos terkenal dengan ketampanannya. Dia jatuh cinta pada saudara kembarnya yang perempuan. Saat saudaranya tersebut meninggal, narkissos sangat terpukul. Dia seringkali mematut diri dikolam untuk melihat bayangan dirinya sendiri yang diasosiasikan sebagai bayangan saudara kembar sekaligus kekasih hatinya tersebut.

Saat ini kata-kata narsis, termasuk dalam bahasa Indonesia, tidak lagi dikaitkan dengan kisah cinta tragis tersebut. Narsis akan melekat pada siapapun yang mengagumi diri sendiri berlebihan. Lalu kenapa Daffodil disebut narsis? "Karena dia seringkali tumbuh didekat kolam, seakan-akan ingin mengagumi bayangannya sendiri," jelas Roel membuat saya dan teman-teman lainnya tertawa.

Meskipun disebut narsis, Daffodil sebenarnya tanaman yang tangguh. Dia masih bisa mekar dengan cantik meskipun diawal musim semi sesekali salju masih sering turun. Kekuatan Daffodil ini sampai-sampai menginspirasi pujangga Inggris William Wordsworth mengabadikan bunga ini dalam sebuah karyanya.


Sambil membahas Daffodil, kami terus menyusuri perbukitan. Berbicara tentang tanaman yang kami lihat dan kicau burung yang kami dengar. Meski kaki lumayan pegal naik turun bukit, tetapi pikiran yang tadinya kusut pelan-pelan menemukan alurnya kembali. Sekitar jam 4 sore kami memutuskan pulang. Di dalam bis saya kembali menemukan inspirasi yang sudah seminggu ini lenyap entah kemana.

Sepertinya Daffodil menulari kekuatan pada saya sebagaimana dia berhasil mengispirasi William Wordsworth saat menulis puisi I Wandered lonely as a cloud.

I Wandered Lonely as a Cloud

I Wandered lonely as a cloudThat floats on high o'er vales and hills,When all at once I saw a crowd,A host, of golden daffodils;Beside the lake, beneath the trees,Fluttering and dancing in the breeze.

Continuous as the stars that shineAnd twinkle on the milky way,They stretched in never-ending lineAlong the margin of a bay:Ten thousand saw I at a glance,Tossing their heads in sprightly dance.

The waves beside them danced; but theyOut-did the sparkling waves in glee:A poet could not but be gay,In such a jocund company:I gazed--and gazed--but little thoughtWhat wealth the show to me had brought:

For oft, when on my couch I lieIn vacant or in pensive mood,They flash upon that inward eyeWhich is the bliss of solitude;And then my heart with pleasure fills,And dances with the daffodils.

Maastricht, 19 Maret, 2007.