Monday, November 07, 2005

Creambath

Kalau ada teman yang iseng bertanya, bagian tubuh saya yang mana yang paling senang menerima sentuhan? Saya akan segera menemukan jawabannya: kepala! Iya, kepala! Maksud saya kepala yang ada rambutnya. Eh, tunggu dulu, jangan sampai salah paham, maksudnya adalah kepala tempat otak saya yang tidak begitu cemerlang itu bersemayam. Bagaimana? Jelaskan kepala mana yang saya maksud?

Semenjak kecil kepala saya memang senang menerima sentuhan. Tentunya bukan sentuhan dalam bentuk jitakan dan pitesan. Tetapi pijitan dan, kalau boleh sih, belaian. He..he..he. Saya ingat persis, waktu masih SD dulu, setiap menjelang lebaran dan hari raya haji, bapak membawa saya ke tukang cukur. Begitu tangan tukang cukur itu nempel di kepala saya, saya langsung terbuai. Dunia terasa damai. Saya kerap terlelap, sampai bapak membangunkan dan mengajak saya pulang.

Kesenangan saya itu ternyata berlanjut sampai hari ini. Sentuhan tangan tukang cukur di kepala menjadi salah satu sarana rekreasi buat saya. Pijatan yang agak sedikit keras bisa mereduksi stress dan penat-penat sehabis mencari nafkah untuk sesuap nasi dan selembar tiket 21. Jangan heran, rambut saya selalu pendek. Bukannya ingin bergaya army look tetapi karena saya mencari pijitan saat cukuran.

Karena saya manusia biasa yang tidak pernah puas, maka saya pun mencoba yang namanya creambath. Syukurlah beberapa barber shop di Jakarta menyediakan layanan ini, karena saya masih agak-agak risih masuk salon. Tujuan utama saya creambath, bisa ditebak, bukan untuk merawat rambut saya yang mulai rontok, tetapi untuk merasakan sentuhan di kepala saya. Creambath memang lebih istimewa, karena selain dipijit, kepala kita juga bisa merasakan sensasi sejuk saat krim yang baru dikeluarkan dari pendingin dibalurkan ke seluruh rambut dan kulit kepala. Rasanya? Ruarrrrrr biasa! Saya susah menceritakannya, tapi yang jelas dunia terasa lebih indah berwarna.

Tetapi ternyata tidak semua orang sreg, melihat laki-laki creambath. Seorang rekan kerja saya pernah berkomentar miring. "Gue yang cewek saja nggak pernah creambath," ujarnya nyinyir. Saya diam saja waktu itu. Sebenarnya saya yakin, kalau ada voucher creambath gratis, pasti rekan tersebut rajin ke salon. Tapi sudahlah, saya sedang malas ribut. Saya hanya berangan-angan, seandainya dia sesekali creambath, mungkin pikirannya tidak sepicik itu.

Saya setuju dengan identitas seksual. Bagaimanapun ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Laki-laki tidak bisa melahirkan bukan? Tetapi ketika identitas seksual itu dipaksa muncul dalam hal-hal yang tidak perlu, rasanya norak dan hipokrit. Saya punya sedikit cerita tambahan mengenai masalah ini.

Saat masih kuliah dulu saya pernah mendapatkan tugas kelompok untuk melakukan semacam studi disebuah daerah pinggiran. Selama beberapa waktu kita tinggal berkelompok ditempat itu. Interaksi dengan teman satu kelompok membuat masing-masing bisa melihat warna berbeda dari setiap anggota kelompok.

Ada seorang teman yang sampai saat ini masih saya ingat. Teman tersebut adalah laki-laki yang sangat bangga dengan kelaki-lakiannya. Setiap saat dia selalu ingin tampil laki. Misalnya, pasang muka seram, kalau jalan prok-prok, eh itu mah kapiten ya? Maksud saya, kalau jalan bahu selalu diangkat, kaki di buka lebar-lebar, dan langkah diseret panjang dan berat.

Teman tersebut selalu berusaha membuat saya ternganga dengan pengalaman hidupnya yang keras, dengan olahraga-olahraga berat yang pernah ditekuninya, dan hal-hal macho lainnya yang pernah dia ikuti. Saya berusaha mendengarkan. Buat saya tidak masalah, toh itu adalah warna berbeda yang ada disekitar saya.

Tetapi saya mulai terusik ketika rekan tersebut mulai mengintervensi kebiasaan teman yang lain. Dia mulai suka mengkomplain apapun hal yang menurut dia tidak laki. Ketidakbisaan saya main catur kerap menjadi bahan celaan. Tindakan paling menyebalkan adalah saat dia marah-marah ketika seorang teman wanita memutar kaset Krisdayanti. "Musik begitu kok didengarkan," ujarnya. Besoknya dia memutar keras-keras kaset trash metal sampai seluruh kelompok tidak bisa tidur.

Saya kesal, tetapi demi mendapatkan nilai yang bagus saya harus bersabar. Saya mengalihkan kemarahan dengan bersih-bersih rumah. Saat sedang mengatur barang-barang, sesuatu meluncur dari ransel milik teman saya tersebut. Saya kaget bukan kepalang ketika memungut barang tersebut, tahu tidak barang apakah itu : CITRA WHITE BEAUTY LOTION! Gilaa! Teman yang semacho itu?.

Semenjak saat itu saya tidak pernah marah kepada teman tersebut. Saya hanya tersenyum geli setiap kali dia memamerkan kemachoannya. Saya membayangkan dia mendengarkan musik Sepultura sambil mengoleskan Citra keseluruh tubuh. Ha ha ha!