Friday, March 17, 2006

Kasih Ibu Part I

Seorang kawan bertanya, kapan terakhir Anda menangis? Saya langsung menemukan jawabannya. Saya menangis minggu lalu saat menonton sebuah sinetron. Hah!? Iya, saya juga hampir tidak percaya, sebuah sinetron??.
Biasanya selama ini kalaupun mata saya secara tidak sengaja menangkap adegan sebuah sinetron, reaksi saya selalu kemarahan. Skenario yang kalau tidak ngejiplak atau maksa, akting pemain yang norak, ustad-ustad yang mau-maunya tampil di sinetron musyrik selalu menjadi sasaran makian saya. Tetapi sinetron yang saya nonton sekitar dua minggu lalu itu memang agak berbeda.
Sinetron yang ditayangkan di RCTI tersebut berjudul "Kekuatan Doa". Ceritanya tentang seorang anak yang durhaka kepada ibunya lalu mengalami depresi akibat penyesalan yang sangat mendalam. Klise ya? Ceritanya memang biasa-biasa saja, akting pemain dan cara bertuturnya sangat luar biasa untuk ukuran sebuah sinetron.
Akting Dewi Yull sebagai seorang ibu sangat memikat. Dia tidak menjadi sosok manusia setengah malaikat seperti pada karakter-karakter protagonis yang umum ditemukan di sinetron-sinetron kita. Dia hanya seorang ibu sederhana yang rajin berdoa, meski demikian dia tetap manusia yang sempat khilaf lalu kembali berusaha memperbaiki keadaan.
Beberapa scene sinetron ini sangat membekas diingatan. Salah satunya saat sang anak, bernama Iman, sedang depresi di ruang rawat sebuah rumah sakit jiwa. Penyesalan yang begitu dalam membuat kata-kata tercerabut dari jiwa Iman. Dia hanya mampu melukiskan sesalnya dalam tulisan-tulisan pendek. Saya merinding saat sang Ibu berlari keruangan tempat Iman di rawat dan menemukan dinding kamar penuh dengan tempelan tulisan, "Ibu maafin Iman,". Ceceran kertas berisi tulisan Iman juga memenuhi koridor rumah sakit, dan di ujung koridor Iman terduduk, mengambil kertas demi kertas, mengisinya dengan permintaan maaf terus menerus. Indah dan mengharukan kan?
Sebenarnya buat saya, terlepas dari keberhasilan teknis sinetron ini, topik tentang kasih sayang seorang Ibu sangat bersinggungan secara emosional dengan saya. Ibu saya sudah almarhum, beliau meninggal dunia bulan Juni 2005 lalu setelah sebelumnya sempat koma selama enam bulan.
Awal tahun 2005, Ibu saya jatuh di kamar mandi. Terjadi pendarahaan di otak, beliau segera dilarikan ke rumah sakit. Saya segera mengambil cuti, Ibu tidak pernah diopname, sekarang beliau masuk ICU, pasti masalahnya serius. Hari kedua, Ibu mulai bisa sedikit berbicara, dan yang dia tanyakan adalah kondisi saya, apakah saya sehat? Di ujung lorong kesadarannya dia masih sempat memikirkan saya.
Hari-hari berikutnya, Ibu hanya tertidur dengan dengkur yang lembut. Saya menemaninya di ruang ICU. Sesekali mengaji didekatnya, memperhatikan apakah cairan infusnya masih ada atau sudah habis, menjaga agar pakaiannya tidak tersingkap, dan membantu suster memandikannya saat pagi hari.
Dua hari, tiga hari, lima hari, Ibu masih diam seribu bahasa. Hanya matanya yang sesekali terbuka. Hari-hari berikutnya kondisinya masih sama. Satu-satunya kata yang kerap diucapkan Ibu saya adalah, "Allah", saya agak berbesar hati dengan hal ini. Seorang teman berkata, "Orang yang senantiasa mengingat Allah dalam keadaan apapun, jiwanya tidak pernah mati,".
Tapi lambat laun saya kembali khawatir. Ibu belum menunjukkan kemajuan berarti. Sementara jatah cuti saya sudah hampir habis. Bagaimana ini? Saya tidak mungkin meninggalkan pekerjaan, bagaimanapun butuh biaya, untuk saya, dan untuk bantu-bantu ibu berobat. Akhirnya dengan berat hati saya pun kembali ke Jakarta. Saya bukan khawatir Ibu tidak ada yang menjaga, saya yakin kakak-kakak akan sangat telaten merawat Ibu, yang membuat saya sedih adalah kenapa kesempatan saya merawat beliau sangat singkat.
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan berlalu. Ibu masih dalam keadaan koma. Saya makin meradang. Saya tidak bisa membayangkan betapa sakitnya beliau, berbulan-bulan harus makan melalui selang. Saya pun mulai berpikir, kalau memang Ibu harus menghadap Allah, saya ikhlas, saya hanya berdoa agar beliau disembuhkan segera atau dimudahkan jalannya.
Bulan Juni, saya menerima kabar bahwa Ibu dipanggil Allah. Saya menangis sebentar lalu segera pulang kampung lagi. Ibu saya sudah dipanggil oleh pemiliknya, saya tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya saja sampai saat ini setiap melihat sosok ibu tua, saya langsung berkaca-kaca, saya teringat akan ibu saya.
Manusia memang cenderung berpuas diri, demikian juga saya. Saya merasa sudah menjadi anak yang lumayan berbakti dengan merawat ibu saya saat beliau sakit. Rasa sombong ini bercokol di hati saya sampai suatu hari saya mendapat tugas mewawancara seorang dokter jantung anak di Rumah Sakit Harapan Kita. Saat menunggu dokter datang, saya menyempatkan diri membaca tempelan-tempelan tulisan di majalah dinding rumah sakit.
Ada sebuah fotocopy tulisan Anis Matta yang ditempel disana. Tulisan ini berkisah tentang seorang anak muda yang hidup di jaman Umar Bin Khattab. Anak muda tersebut sangat berbakti kepada ibunya, dia merawat ibunya saat sedang sakit, menyuapi makanan, membersihkan kotoran, menggendongnya saat beliau lumpuh, dan mengusung jenazahnya ke pemakaman.
Setelah memakamkan ibunya, anak muda tersebut bertanya kepada Umar, "wahai Umar, apakah aku sudah dapat membalas budi baik ibuku,". Saya tidak sabar melanjutkan membaca. Karena sekali waktu pertanyaan ini sempat melintas di kepala saya juga. "Tidak!" jawab Umar mengangetkan saya. "Ibu mu merawat engkau seraya berharap akan kesembuhan mu, sementara engkau merawat Ibu mu sambil menantikan kematiannya,".
Palu godam raksasa menghantam kepala saya. Saya kembali menangis.
Note: Foto di atas adalah foto seorang Ibu bersama anaknya di tenda pengungsian di Aceh.

Thursday, March 16, 2006

Masjid dan Tsunami