I dont have family name
Menurut kakak saya nama saya pernah diganti sekali. Waktu pertama kali lahir, kata kakak saya, nama saya Abdullah. Nama ini adalah pemberian dukun beranak yang menolong ibu saya melahirkan saya. Beberapa waktu berselang, masih menurut kakak saya, nama saya diganti orang tua menjadi Alfian. Alasannya, masih menurut kakak saya, nama Abdullah itu terlalu 'besar' buat saya, jadi orang tua saya takut anaknya keberatan nama.
Terus terang saya meragukan kebenaran cerita kakak saya tersebut. Dulu waktu saya masih kecil dia juga pernah cerita bahwa sesungguhnya saya bukanlah anak kandung ibu dan bapak saya. Waktu masih bayi saya ditemukan oleh orang tua saya sedang menangis di bawah rumpun bambu di pinggir kali belakang rumah. Karena kasihan akhirnya orang tua saya mengangkat saya menjadi anak mereka. "Tetapi kamu nggak perlu mencari orang tua kandung kamu, nanti ibu dan bapak marah," bisik kakak saya meyakinkan. Sayangnya kakak saya tinggal di Aceh. Mungkin kalau tinggal di Jakarta dia sudah dikontrak buat menulis skenario ratusan episode sinetron produksi Raam Pundjabi. Hanya satu informasi dari dia yang layak dipercaya, dari awal nama saya hanya satu kata: Alfian.
Saat masih SMA, seorang guru bahasa arab pernah meledek nama saya. "Dalam bahasa arab, alfi itu artinya seribu, jadi kalau alfian, artinya seribuan, murah sekali ya," ujar guru bahasa arab tersebut disambut ledakan tawa seisi kelas. Sialan. Saya cuma bisa mengumpat dalam hati.
Nama yang cuma satu kata itu ternyata menjadi sedikit masalah saat saya menempuh pendidikan di Belanda. Family name menjadi identitas penting buat masyarakat barat. Orang-orang Indonesia yang namanya terdiri dari dua kata bisa gampang mengakali. Jadikan saja nama belakang sebagai family name, semua urusan lancar. Sedangkan saya tidak bisa, nama saya cuma Alfian. Setiap mengisi pertanyaan tentang 'family name' di formulir aplikasi, saya selalu menambahkan keterangan: I dont have family name, please refer to my passport. Meski sudah diberikan keterangan demikian, tetap saja ada yang tidak bisa mengerti kenapa ada orang yang tidak punya nama belakang.
Suatu hari saya menerima surat dari Universiteit Van Amsterdam, mereka memulai surat dengan sapaan: Dear Mr. Alfian Gedung Gatra! Duhhh...
Banyak sekali pertanyaan yang sudah diajukan oleh orang-orang di Belanda tentang nama saya yang cuma satu kata itu. Setiap ganti modul kuliah, dosen saya berganti juga. Akibatnya saya kembali harus menjelaskan bahwa saya tidak punya nama belakang.
Terus terang saya meragukan kebenaran cerita kakak saya tersebut. Dulu waktu saya masih kecil dia juga pernah cerita bahwa sesungguhnya saya bukanlah anak kandung ibu dan bapak saya. Waktu masih bayi saya ditemukan oleh orang tua saya sedang menangis di bawah rumpun bambu di pinggir kali belakang rumah. Karena kasihan akhirnya orang tua saya mengangkat saya menjadi anak mereka. "Tetapi kamu nggak perlu mencari orang tua kandung kamu, nanti ibu dan bapak marah," bisik kakak saya meyakinkan. Sayangnya kakak saya tinggal di Aceh. Mungkin kalau tinggal di Jakarta dia sudah dikontrak buat menulis skenario ratusan episode sinetron produksi Raam Pundjabi. Hanya satu informasi dari dia yang layak dipercaya, dari awal nama saya hanya satu kata: Alfian.
Saat masih SMA, seorang guru bahasa arab pernah meledek nama saya. "Dalam bahasa arab, alfi itu artinya seribu, jadi kalau alfian, artinya seribuan, murah sekali ya," ujar guru bahasa arab tersebut disambut ledakan tawa seisi kelas. Sialan. Saya cuma bisa mengumpat dalam hati.
Nama yang cuma satu kata itu ternyata menjadi sedikit masalah saat saya menempuh pendidikan di Belanda. Family name menjadi identitas penting buat masyarakat barat. Orang-orang Indonesia yang namanya terdiri dari dua kata bisa gampang mengakali. Jadikan saja nama belakang sebagai family name, semua urusan lancar. Sedangkan saya tidak bisa, nama saya cuma Alfian. Setiap mengisi pertanyaan tentang 'family name' di formulir aplikasi, saya selalu menambahkan keterangan: I dont have family name, please refer to my passport. Meski sudah diberikan keterangan demikian, tetap saja ada yang tidak bisa mengerti kenapa ada orang yang tidak punya nama belakang.
Suatu hari saya menerima surat dari Universiteit Van Amsterdam, mereka memulai surat dengan sapaan: Dear Mr. Alfian Gedung Gatra! Duhhh...
Banyak sekali pertanyaan yang sudah diajukan oleh orang-orang di Belanda tentang nama saya yang cuma satu kata itu. Setiap ganti modul kuliah, dosen saya berganti juga. Akibatnya saya kembali harus menjelaskan bahwa saya tidak punya nama belakang.
2 Comments:
Asl..mas Alfian..
Pengalaman yg sangat menarik ttg sebuah nama,emang betullah..
gw juga ngalamin dgn nama gw..yg kebetulan sama ama mas, bedanya gw ada nambah belakangnya...., nah ini yg jadi panggilan ejekan oleh teman2 sama sekolah...
si Al anak pak rahim...rahim-rahim, bilang mereka ama gw (kirain itu nama ayah gw/family name) padahal itu juga masih nama saya Alfian Rahim...ehe...(tertipu sendiri mereka)...
Namaku juga Alfian!
Post a Comment
<< Home