Tuesday, December 06, 2005

FRENCH KISS

Pernah nonton film French Kiss? Saya baru menontonnya bulan lalu, saat di putar di salah satu stasiun TV swasta. Kalau ada movie mania, pasti bakal komentar, “basi banget lu! Kemane aje! Itu pan pelem keluar jaman orde baru! Please dechh...!,” Oke-oke, saya ngaku. Saya memang terlambat menonton film ini. Berhubung masih dalam suasana Idul Fitri 1426 Hijriah, saya mohon maaf atas keterlambatan saya.

French Kiss bercerita tentang Kate (Meg Ryan), wanita yang memiliki phobia terbang tetapi tetap nekad naik pesawat ke Paris untuk mengejar tunangannya Charlie (Timothy Hutton) yang telah berkhianat. Keadaan menjadi tidak terkendali saat Kate bertemu dengan Luc Teyssier (Kevin Kline), pencuri kalung yang memanfaatkan Kate untuk menyelundupkan barang curiannya. Singkat cerita, Kate jatuh cinta pada Luc, dan melupakan Charlie.

Cerita film ini memang klise dan mudah ditebak. Seorang kritikus menyebutkan satu-satunya kelebihan film ini adalah kemampuannya menghadirkan sisi-sisi indah alam Perancis. Sementara karakter kedua tokoh utama dianggap lifeless. Mungkin film ini tidak terlalu istimewa, tetapi saya tetap berniat memiliki dvd/vcd nya suatu saat nanti. Saya terlalu berbaik sangka dengan pembuat film. Saya percaya, setidak-tidaknya ada satu kejadian nyata yang nyaris menyerupai cerita di film. Ada dua adegan di French Kiss yang mampu mengelisahkan saya.

Dari awal film dimulai, saya sudah deg-degan, saya takut kalau adegan ini muncul, dan ternyata dia memang muncul: Charlie yang sedang berada di Paris menelepon Kate dan berkata. "…I am so happy! I met a women, a goddess! Lalu, Charlie melengkapi penderitaan saya, “I will not coming back, I’m in love, Kate!”

Saya tidak pernah menyukai cerita atau berita perselingkuhan. Saya pernah hampir tidak bisa tidur setelah menonton 'House of Sand and Fog', padahal affair antara Kathy dan Lester bukanlah isu utama yang ingin diangkat dalam film besutan sutradara Vadim Perelman ini.

Ada yang aneh dengan ketidaksukaan saya terhadap isu selingkuh. Mirip candu, saya tahu saya akan menderita tetapi saya juga ingin terus merasakannya. Saya pun curi-curi baca Novel asli 'House of Sand and Fog' di QB. Saya coba mencari sebab kenapa Lester berselingkuh. Saya jajagi sensasi yang dirasakan Lester dan Kathy. Saya rekam detil adegan saat Lester meninggalkan keluarganya.

Sudah diduga, keputusan saya melakukan ini semua salah. Akhirnya saya tetap menjadi Carol, istri Lester yang menjadi korban perselingkuhan. Saya pun kembali 'kurang' bisa tidur setelah membaca Novel yang tidak saya beli tersebut. Saya mengalami, sebut saja "affair sickness". Gejalanya adalah sedih tanpa alasan, sakit kepala, kadang-kadang disertai mual, dan gejala paling umum susah tidur. Keluhan ini sering saya rasakan setelah membaca cerita atau berita mengenai perselingkuhan.

Seorang teman pernah merasa heran dengan saya, "Kok loe terlibat banget sih?, Itu kan masalah orang, bukan masalah loe," ujar teman tersebut. Entahlah, saya pun tidak mengerti. Sebagai jomblo terhormat saya memang tidak pernah patah hati. Tapi percayalah, kepedulian saya terhadap derita korban perselingkuhan sama besarnya dengan kepedulian saya terhadap anak-anak korban tsunami.

Masalah yang sama muncul setelah menonton adegan Charlie menelepon Kate.. Saya pun mulai mempertanyakan eksistensi cinta. Hanya dengan alasan a goddess, happiness, dan I’m in love, Charlie pergi. Begitu tidak bisa diandalkannya cinta manusia. Saya sampai pada sebuah kesimpulan yang belum cukup meyakinkan: kemanusian tidak terlalu membutuhkan cinta. Toh, dengan hidup normal dan berbuat baik dengan sesama, dunia juga akan tetap indah.

Seorang teman pernah berkata, “mencintai adalah berani menyerahkan diri kepada ketidakpastian,”. Menurut saya itu adalah kebodohan. Sorry aje ye, maut nyang udeh jelas kagak pasti aje masih ade asuransi jiwe, iye kagak bang?

"Tapi cinta itu juga penting," ujar seorang rekan kerja di kantor saya. Saya tidak sependapat, tapi juga tidak tega membantah. Teman saya itu sepertinya sangat mencintai suami dan kedua anaknya. Akhirnya saya hanya berkomentar, "kalaupun harus terpaksa mencintai, berikan setengah saja hatimu,". Karena, menurut saya, kalau orang yang kita cintai itu ternyata tidak setia, maka kita tidak akan terlalu kehilangan. Separuh hati kita masih milik kita sendiri.

Kembali ke French Kiss. Gejala "affair sickness", meski tidak terlalu berat, kembali menyerang saya setelah adegan Charlie menelepon Kate. Sempat terlintas untuk mematikan televisi dan mencoba tidur mumpung gejalanya belum sampai ke stadium akut. Tetapi saya masih penasaran dengan pengejaran yang dilakukan Kate.

Beruntunglah saya tidak jadi mematikan TV. Karena dipertengahan film muncul sebuah adegan yang cukup melegakan Adegan ini adalah adegan kedua yang berkesan buat saya. Saat sedang menemani Kate mengejar Charlie, Luc menghibur Kate dengan berkata bahwa hidup Kate akan baik-baik saja. Suatu saat Kate akan melupakan Charlie, "…first you forget his chin, than his nose,…one day you wake up and his gone" ujar Luc dengan bahasa Inggris beraksen Perancis yang kental.

Byar!!! Seperti ada lampu neon mendadak menyala terang di kepala saya. Saya baru sadar bahwa selama ini saya melupakan suatu potensi asasi manusi: Lupa. Apa!? Iya, lupa! Maksud saya L-U-P-A!.

Manusia merasa berhasil mempertahankan ribuan tahun peradaban dengan kecemerlangan otak dalam mencipta. Padahal salah satu kelemahan otak, yaitu sifat pelupa, justru berperan tidak kalah pentingnya dalam mempertahankan eksistensi peradaban. Bayangkan betapa menderitanya manusia jika kita masih mengingat semua perang, bencana alam, dan derita pahit lainnya yang pernah terjadi.

Ah, Luc memang hebat. Saya salut. Malam itu saya bisa tidur dengan agak lega. Saya yakin saudara-saudara saya yang menderita akibat diselingkuhi akan segera baik-baik saja. Pelan-pelan mereka akan melupakan lalu kembali bisa menikmati hari, sebagaimana Luc menikmati setiap tetes anggur Perancis. Hmm...