Saturday, November 10, 2007

I dont have family name

Menurut kakak saya nama saya pernah diganti sekali. Waktu pertama kali lahir, kata kakak saya, nama saya Abdullah. Nama ini adalah pemberian dukun beranak yang menolong ibu saya melahirkan saya. Beberapa waktu berselang, masih menurut kakak saya, nama saya diganti orang tua menjadi Alfian. Alasannya, masih menurut kakak saya, nama Abdullah itu terlalu 'besar' buat saya, jadi orang tua saya takut anaknya keberatan nama.

Terus terang saya meragukan kebenaran cerita kakak saya tersebut. Dulu waktu saya masih kecil dia juga pernah cerita bahwa sesungguhnya saya bukanlah anak kandung ibu dan bapak saya. Waktu masih bayi saya ditemukan oleh orang tua saya sedang menangis di bawah rumpun bambu di pinggir kali belakang rumah. Karena kasihan akhirnya orang tua saya mengangkat saya menjadi anak mereka. "Tetapi kamu nggak perlu mencari orang tua kandung kamu, nanti ibu dan bapak marah," bisik kakak saya meyakinkan. Sayangnya kakak saya tinggal di Aceh. Mungkin kalau tinggal di Jakarta dia sudah dikontrak buat menulis skenario ratusan episode sinetron produksi Raam Pundjabi. Hanya satu informasi dari dia yang layak dipercaya, dari awal nama saya hanya satu kata: Alfian.

Saat masih SMA, seorang guru bahasa arab pernah meledek nama saya. "Dalam bahasa arab, alfi itu artinya seribu, jadi kalau alfian, artinya seribuan, murah sekali ya," ujar guru bahasa arab tersebut disambut ledakan tawa seisi kelas. Sialan. Saya cuma bisa mengumpat dalam hati.

Nama yang cuma satu kata itu ternyata menjadi sedikit masalah saat saya menempuh pendidikan di Belanda. Family name menjadi identitas penting buat masyarakat barat. Orang-orang Indonesia yang namanya terdiri dari dua kata bisa gampang mengakali. Jadikan saja nama belakang sebagai family name, semua urusan lancar. Sedangkan saya tidak bisa, nama saya cuma Alfian. Setiap mengisi pertanyaan tentang 'family name' di formulir aplikasi, saya selalu menambahkan keterangan: I dont have family name, please refer to my passport. Meski sudah diberikan keterangan demikian, tetap saja ada yang tidak bisa mengerti kenapa ada orang yang tidak punya nama belakang.

Suatu hari saya menerima surat dari Universiteit Van Amsterdam, mereka memulai surat dengan sapaan: Dear Mr. Alfian Gedung Gatra! Duhhh...

Banyak sekali pertanyaan yang sudah diajukan oleh orang-orang di Belanda tentang nama saya yang cuma satu kata itu. Setiap ganti modul kuliah, dosen saya berganti juga. Akibatnya saya kembali harus menjelaskan bahwa saya tidak punya nama belakang.

Chat di YM

Berikut ini petikan chat singkat saya dengan seorang teman di YM. Ini merupakan kontak pertama kami setelah kurang lebih 2 tahun tidak bertukar kabar.

Teman : Alfian ya?
Saya : Iya, ini **** ya, apa kabar?
Teman : Baik, Alfian gimana?
Saya : Alhamdulillah, baik juga.
Teman : Sudah punya calon?

Bujubuneng, semangat chat gw langsung ilang. GRHHHHHH!!! Pertama, kalau mau tanya itu A, B, C, lalu D, dst. Bukan dari A langsung lompat ke Z. Kedua, pertanyaan2 begini kalau diajukan oleh orang asing akan sangat mengintimidasi. Huh! (kesel mode on).

Berikut ini cuplikan chat yang lain. Satu kampus, tapi tidak komunikasi intens, cuman saling senyum. Sudah 5 tahun tidak bertemu dan tidak juga saling kontak. Sebenarnya, ungkapan "fellow student" lebih tepat daripada "friend". Namun kita mudah sekali menggunakan istilah "teman".

Teman: Alfian, apa kabar?
Saya : Baik, **** apa kabarnya?
Teman: Baik juga.Alfian ambil jurusan apa sih?
Saya : Media Culture
Teman: Alfian, pacarnya anak mana sih?
Saya : Hehehe(What the fuck!???? -tenang ini cuman dalam hati doang kok).
Teman : Jangan-jangan kuliah disitu juga ya?
Saya: Hehehe (So what!? -ini juga dalam hati doang kok).
Teman : Dulu cowokku orang aceh juga loh!
Saya : (lagi) Heheheh (Did I ask you? -ini nyaris keluar kemulut).
Teman : Eh, males ya ngebahas beginian?
Saya : (akhirnya gw kagak tahan). sorry ya itu kan pribadi banget.

Saat usia melebihi 25 banyak yang panic mode on karena belum menikah atau bahkan belum punya calon. Lucunya, terkadang keberadaan pasangan atau calon pasangan cuman atribut buat sosial status, buat ditenteng2 pas ada resepsi pernikahan, biar ga bingung jawabnya kalau ada yang nanya. Sebegitu desperatenya kah?

Saya lebih menghargai orang yg buru2 menikah karena udah kebelet dan takut zina daripada yang nyari algojo buat dipamer-pamerin. Anyway, apapun motivasinya bukan urusan gw kali ya. Hanya saja, kalo loe panic karena belum menikah itu urusan loe, jangan rese urusan orang. Keep in mind, ada batasan yang tegas antara peduli dengan rese.

Maastricht, April 29, 2007

Spring Inspiration

Gerimis. Saya nyaris menarik kembali selimut dan membenamkan diri dalam-dalam di tempat tidur. Lupakan saja rencana jalan-jalan itu, toh apa asyiknya kehujanan menyusuri bukit. Tetapi tumpukan buku-buku yang menggunung di atas meja menghalangi niat saya. Sudah seminggu bahan-bahan thesis itu tidak tersentuh. Sudah seminggu pikiran saya macet. Semalam saya berpikir mungkin sedikit jalan-jalan akan memompa kembali semangat saya buat menulis. Akhirnya, meskipun diluar gerimis masih agak-agak mengundang, saya merapatkan jaket dan memutuskan meninggalkan kamar yang terasa makin sempit beberapa hari ini.

Tujuan perjalanan kali ini adalah Megraten-Gulpen, arah timur Maastricht. Daerah ini merupakan habitat asli Korenwolf, hamster yang namanya diabadikan menjadi merk terkenal bir, 'Gulpener Korenwolf'. Saat ini sudah agak sulit menemukan makhluk lucu itu disana. Tetapi areal perbukitan dimusim semi tetap menjadi tempat menarik untuk dijelajahi.

Megraten bisa diakses dari Maastricht dengan menggunakan bis. Dengan membayar 6 euro anda bisa mendapatkan tiket return untuk dua orang. Sepanjang perjalanan saya terus berharap agar gerimis segera reda. Tinggal di Belanda memang harus lihai menyiasati iklim. Cuaca bisa berganti dengan sangat ekstrem. Meski pagi hari matahari terlihat garang, bisa jadi siangnya cuaca dingin menggigit. Saya pernah beberapa kali menggigil kedinginan gara-gara salah kostum. Orang Belanda sendiri selalu menyempatkan membuka ramalan cuaca sebelum mereka bepergian. Cuaca juga selalu menjadi topik pembuka pembicaraan paling aman saat baru pertama kali mengenal seseorang.

Setelah kurang lebih setengah jam di dalam bus, akhirnya kami pun tiba ditempat tujuan. Areal perbukitan dengan pohon-pohon yang masih mengering sisa musim gugur terbentang di hadapan kami. Musim semi yang baru datang telah membangunkan rumput dan semak membuat areal perbukitan itu terlihat unik. Hijau subur dipermukaan, coklat mengering di bagian atas.

Megraten, Gulpen dan Maastricht termasuk dalam wilayah Provinsi Limburg, salah satu daerah berbasis katholik di Belanda. Dalam perjalanan ke bukit kami menemukan beberapa monumen berbentuk salib setinggi kira-kira satu meter. Monumen ini dibangun oleh komunitas gereja setempat. Terkadang untuk menunjukkan adanya kecelakaan mematikan ditempat tersebut, tetapi sebagian dibangun untuk memuji keagungan Tuhan. Monumen salib yang dikenal dengan nama Wegkruis (Road Cross) ini sangat gampang ditemukan di wilayah Limburg dan sekitarnya yang masih berada dalam pengaruh katholik.

Biasanya diakhir pekan daerah ini didatangi banyak pengunjung. Tetapi hujan membuat jalan setapak yang menghubungi kaki bukit dengan puncaknya terlihat sepi. Keluarga Ree, sejenis kijang, yang mengintip malu-malu menjadi teman jalan kami. Areal perbukitan yang dikelola Stichting het Limburg Lanschape ini menjadi rumah bagi hewan-hewan liar. Sepanjang jalan kami menemukan banyak jejak cerpelai yang berlalu lalang. Sayangnya si hamster yang terkenal itu belum juga kelihatan batang hidungnya.

Kekecewaan kami sedikit terobati saat mendengar kicauan merdu seekor burung. Menurut Roel Bosch, pemandu perjalanan kami, suara tersebut berasal dari burung Vink yang selain berkicau lumayan merdu dapat juga dilatih berbicara. Sampai tahun 1950, penduduk Limburg masih suka memelihara burung ini didalam sangkar. Tetapi setelah itu aturan kepemilikan burung ini diperketat pemerintah Belanda. "Pemilik harus memiliki dokumen bahwa burung tersebut menetas didalam sangkar bukan ditangkap dari habitatnya," Roel menerangkan.

Kami beruntung Roel menjadi pemandu. Pria yang sehari-harinya pendeta ini ibarat wikipedia berjalan. Dia bisa mengidentifikasi setiap burung yang didengar dan bisa menjelaskan sejarah dan legenda setiap benda yang disentuh. "That is a family desease," ujar Roel sambil tertawa saat saya bertanya darimana pengetahuan sebanyak itu diperolehnya. Waktu itu dia baru saja menjelaskan bahwa diakhir perang dunia pertama, kawat berduri berganti fungsi dari benteng pertahanan menjadi alat pertanian.

Saya benar-benar memanfaatkan keahlian Roel dengan menghujaninya begitu banyak pertanyaan tentang tumbuhan-tumbuhan yang kami temui sepanjang perjalanan. Cerita tentang tumbuhan-tumbuhan itulah yang coba saya dokumentasikan dalam tulisan ini.
Tumbuhan pertama yang ditunjuk Roel adalah rumpun menjalar dengan daun berbentuk oval dan bunga berwarna kuning. Dalam bahasa Belanda tumbuhan ini bernama Speenkruid. Orang Belanda jaman dulu suka menjadikan umbi tanaman ini sebagai campuran makanan bayi yang baru disapih dari ibunya. Bermunculannya beragam produk makanan bayi instan membuat praktek ini sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Belanda.

Tumbuhan lain yang juga dijadikan campuran makanan adalah Sleedorn, pohon dengan ranting dipenuhi bunga putih cantik. Tanaman serupa pernah saya lihat di dekat guest house tempat saya tinggal. Pohon ini tidak berdaun, seluruh rantingnya dipenuhi bunga-bunga putih seukuran kuntum melati. Bunga tanaman ini sering dipakai sebagai bahan campuran untuk membuat applemoes, bubur bayi dari buah apel yang dihaluskan. Menurut saya, pesona utama tumbuhan ini tetap pada sosoknya, hanya ranting bertabur bunga, sekilas mengingatkan pada sakura. Tanaman ini pasti akan jadi properti yang indah dipanggung teater.

Berbicara tentang keindahan, maka yang keluar sebagai pemenangnya adalah Daffodil, semak setinggi 30 cm dengan bunga kuning merekah. Semenjak musim semi datang saya sudah menyaksikan tumbuhan ini tiba-tiba saja bermuncula dibeberapa sudut Maastricht. Rupanya selama autumn dan winter benih Daffodill terus mengecambah dibawah permukaan tanah.

Dalam bahasa Belanda, dan juga dalam bahasa latin, Daffodil ini dikenal dengan nama narcis, nama ini berakar dari tokoh dalam mitologi Yunani, narcissus atau narkissos. Dalam legenda Yunani, narkissos terkenal dengan ketampanannya. Dia jatuh cinta pada saudara kembarnya yang perempuan. Saat saudaranya tersebut meninggal, narkissos sangat terpukul. Dia seringkali mematut diri dikolam untuk melihat bayangan dirinya sendiri yang diasosiasikan sebagai bayangan saudara kembar sekaligus kekasih hatinya tersebut.

Saat ini kata-kata narsis, termasuk dalam bahasa Indonesia, tidak lagi dikaitkan dengan kisah cinta tragis tersebut. Narsis akan melekat pada siapapun yang mengagumi diri sendiri berlebihan. Lalu kenapa Daffodil disebut narsis? "Karena dia seringkali tumbuh didekat kolam, seakan-akan ingin mengagumi bayangannya sendiri," jelas Roel membuat saya dan teman-teman lainnya tertawa.

Meskipun disebut narsis, Daffodil sebenarnya tanaman yang tangguh. Dia masih bisa mekar dengan cantik meskipun diawal musim semi sesekali salju masih sering turun. Kekuatan Daffodil ini sampai-sampai menginspirasi pujangga Inggris William Wordsworth mengabadikan bunga ini dalam sebuah karyanya.


Sambil membahas Daffodil, kami terus menyusuri perbukitan. Berbicara tentang tanaman yang kami lihat dan kicau burung yang kami dengar. Meski kaki lumayan pegal naik turun bukit, tetapi pikiran yang tadinya kusut pelan-pelan menemukan alurnya kembali. Sekitar jam 4 sore kami memutuskan pulang. Di dalam bis saya kembali menemukan inspirasi yang sudah seminggu ini lenyap entah kemana.

Sepertinya Daffodil menulari kekuatan pada saya sebagaimana dia berhasil mengispirasi William Wordsworth saat menulis puisi I Wandered lonely as a cloud.

I Wandered Lonely as a Cloud

I Wandered lonely as a cloudThat floats on high o'er vales and hills,When all at once I saw a crowd,A host, of golden daffodils;Beside the lake, beneath the trees,Fluttering and dancing in the breeze.

Continuous as the stars that shineAnd twinkle on the milky way,They stretched in never-ending lineAlong the margin of a bay:Ten thousand saw I at a glance,Tossing their heads in sprightly dance.

The waves beside them danced; but theyOut-did the sparkling waves in glee:A poet could not but be gay,In such a jocund company:I gazed--and gazed--but little thoughtWhat wealth the show to me had brought:

For oft, when on my couch I lieIn vacant or in pensive mood,They flash upon that inward eyeWhich is the bliss of solitude;And then my heart with pleasure fills,And dances with the daffodils.

Maastricht, 19 Maret, 2007.

Sunday, October 22, 2006

Bubbles World

Lets Bubbling!
I could not prevent myself from entering that 15 meter square area. It has such a strong magnetic power that attracted everyone who was passing by. Afterwards, I found myself running in all directions to catch pale-grey spherical bubbles, in various sizes, falling down from the sky. I was not alone, other people kept going into the arena too. All of us had the same focus: bubbles! But we treated it differently, based on our personal interest. A man near by was busy playing with a big bubble, he stroke it with his foot, trapped with his chest, and passed it strongly with his head. Obviously, he wanted to imitate the style of soccer star Zinedine Zidane. Another girl acted calmly. She just unfolded her arms widely and rotated her body slowly, following the sound created by the bubbles. I guess she was trying to do ballet dancing. The more people came, the more different forms behavior they showed. One of my friends even found her hunting talent in that arena. “Wow! it’s like catching the flies!” she shouted enthusiastically.
We were not in a carnival or a playhouse but in the Zentrum fứr Kunst und Medientechnologie (ZKM) in Karlsruhe, Germany. We interacted with Bubbles, an artwork by Wolfgang Mứnch in collaboration with Kiyoshi Furukawa. The first sketch of Bubbles was made in January1998 and it became a prototype in July 2000. Bubbles had been the centre of attention of visitor since it was demonstrated for the first time in ZKM, April 2002. “All people want to play with the Bubbles,” said Monika Bottcher, a communication officer at ZKM.
Admittedly, the main idea of Bubbles is all about playing. The artists seem to try to awaken everyone’s childhood memories when they are playing with the Bubbles. Their work offer the warmth of playing ambience which could be an alternative media to experience interacting with bubbles for those who live in metropolitan cities where the space for playing has been replaced by skyscrapers.
Unfortunately, my intention to keep playing with the Bubbles was disturbed by a strange behavior of a friend. She shouted, “Ouchhhh!!!” and looked at me somewhat angrily when my shadow smashed a big bubble on her head. Why did she react in that way? Did she feel any pain? I was sure she was not. Why then she did act as if the bubbles touched her? Those questions made me stop playing. With a very strong curiosity, I started to look more closely to the Bubbles. What kind of creature is it? What it has done to my friend’s brain?
Play or Being Played?
The brain of the Bubbles is a set of computer software connected to a projector and a camera. The limelight from the projector result in a virtual image of flowing bubbles on the projection screen. The spectator only needs to walk onto the light from the projector, then their shadow will be reflected onto the screen. With the input from the camera, the virtual stream of bubbles will recognize the shadow of spectator’s body and will change its direction as it responded. A certain music accompanies this process. Normally, only in a few second spectator will enact this arena as a playhouse or a dance floor.
During the playful moment in the bubbles stage, an interaction is occurred. This installation bridges the two different worlds, the real world, our body movement, on one side, and the virtual world, the bubbles, on the other side. This mechanism is related closely to the concept of telepresence which has been applied to many different phenomena in telecommunication system. Jonathan Steuer, as quoted by Thomas J. Campanella, defined telepresence as, “the experience of presence in an environment by means of a communication medium,”. Campanella emphasized that telepresence is reciprocal, “the observer is telepresent in the remote environment and the observed environment is telepresent in the physical space in which the observer is viewing the scene”.
Indeed, this is what’s happened in Bubbles’ system. The spectator can feel the presence of the bubbles. It attracts them to play, dance, and many more cheerful activities. On the other side, bubbles from the remote area, virtual world, also recognize the presence of spectator by moving their direction and emitting certain music each time they are touched by shadow, the trace of spectator in Bubbles virtual world. The main principle of telepresence exists in this contact. In spite of this relevance, we should notice that the concept of telepresence from Steuer and Campanella are applied for webcameras which is used fortelepresent in the real environment. This fact might make Bubbles expel from the telepresence concept. But, in a different point of view, Bubbles apparently bring a new discourse to this conceptualization. Through Bubbles, virtual world rebelled. It keen to prove its existence: virtual world is real, as real as a sunset over the South China Sea or any other objects captured by webcameras, and it can and worth accessing. The telepresence concept seem has to count on the virtual territory within its theory immediately.
If the webcameras use optic nerves and electronic eyes as medium for telepresent, Bubbles, uniquely work with shadow. In daily life, shadow is only the forgotten part of human body. It is nothing but body reflection which is resulted from the blockade of the light, but Bubbles installation give the power for shadow to mediate the two different worlds. It becomes the interface to bridge the real world and the virtual world.
The use of shadow in Bubbles is similar to technique applied in Wayang Kulit, a shadow puppet theatre which exists in Java and Bali islands in Indonesia. Wayang Kulit is a flat puppet made from buffalo leather. Every piece of Wayang represent one character, most of them come from Hinduism epics such as Ramayana or Mahabharata. The actual problem such as current political issues is often added in Wayang scenario. In the stage of Wayang performance, this leather is manipulated behind the white screen with the back light so the audience can see the shadow of Wayang on the screen. Through this shadow, the story goes. In spite of its traditional technique, Wayang, just like Bubbles, can be a magnet for its attendance. They can awake all night long to watch the entire story of the show.
The main character behind the stage of Wayang is the Dalang, the puppeteer who sits behind the screen and manipulates Wayang movements in order to create certain action from its shadow. In the world of Wayang, Dalang is the God. He, all of them is male, is a leader, a director, a story teller, and also a conductor for the musical group that accompany the show. On top of that, Dalang has the absolute power to determine what will happen in the shadow world during the show. Who will win and who will lose at the end of story is completely in the hand of Dalang. Usually Dalang has a high status, not only in Wayang, but also in his social community.
Although Bubbles and Wayang have similar technique, there is one major difference between these two shadow worlds. In the Bubbles, Dalang is no longer a human being, a set of computer program take over this honorable role capriciously. The magical charming aura appears from the character of Dalang has been replaced by a sophisticated electronic circuit. Where is the human being then in the Bubbles? They are on the stage playing with their shadow. They become the Wayang who loyal to their electronic Dalang.
The extreme reshuffle of Dalang, from human being to computer software, in Bubbles leads to the popular concept from a prominent contemporary theorist, Jean Baudrillard, The Precession of Simulacra. Through this concept, Baudrillard describe the phenomena in which the simulation precedes and creates the reality. This model occurs in the ring of Bubbles wherein the simulation from computer program precedes the motion that exist in the arena. Any real activity in the Bubbles arena, football playing, ballet dancing, flies hunting, is only a model of simulation. Baudrillard called it as a hyperreal, “a real without origin or reality,”.
Spectator experiences the real playful moment during their interaction with the Bubbles. Outsiders also can observe what is happened in the arena. Both of this fact makes the event seem real. But when we realize that those episodes is rooted from digital simulation then the reality of it become blur. The further question arises regarding this phenomena. How does this hyperreal experience influence spectator in human to human interaction?
Bubbles and Us
Bubbles is a multi user installation. More than one spectator can play in this system at the same time. The majority of them interacts each other in the real world when they are talking excitedly about their playing with bubbles. But, interaction through the virtual world, even though accidentally, is still possible. For instance, I got an unpleasant contact with my friend when my shadow smashed a big bubble on her shadow head. From her reaction, she shouted, “Ouchhhh!!!” and looked at me somewhat angrily, she seemed to immerse deeply in Bubbles world.
Admittedly, the way of interaction in Bubbles enable spectator to get involve deeply in those virtual world. The users not only use their eyes or hands, as they usually do in interacting with computer or other electronic devices, but their whole body to interact with artificial bubbles on the white screen. The creators of Bubbles call their work as interactive installation. In fact, the spectator only interact to the rain of the bubbles, the virtual image, while the question about how does the installation work become unimportant. In this case, the spectator becomes a ready-made consumer. They don’t need to pay attention about the user manual. They will not disturb by computer hang problem. In another word, the spectator has lost their critical sense. Thus, no wonder, such “Ouchhhh!!!” reaction could happen after quite long interaction with this installation.
What has happened with my friend is exactly one main character of hyperreality in Baudrillard theory. The distinction between ‘real’ and ‘unreal’ became unclear for her. She forgot that there was no bubbles hit her head, it was only a shadow of a bubble hit her head shadow. For her, the image on the white screen dominated the real world in front of screen. It was no longer only an image, it became her real experience which might be her reference for future action.
Since the contact with the Bubbles is not too intensive then the confusion of reality seem will not leads problem into social life. However, Bubbles, only one artifact from a real virtuality culture, a system which Manuel Castells defined as, “a system in which reality itself (that is, people’s material/symbolic existence) is entirely captured, fully immersed in a virtual image setting, in the world of make believe, in which appearances are not just on the screen through which experience is communicated, but they become the experience”. There is still a lot of digital instrument which construct this civilization. Every second we are exposed to the television, internet, game, and many more electronic gadget which provide us virtual image. Do those images influence our sense in human to human interaction? Does the terrorist movie we watch create a prejudice in our mind to other people coming from certain ethnic group? Does the game our children play contribute to their violence behavior? Those questions is always led us to an endless debate. But the right answer must be found immediately due to the fast speed of the digital technology proliferation. Doesn’t it ridiculous if we treat other people badly only because of our confusion of reality?
In the Bubbles installation, a little bit experiment can help us to get a little farther distinction between real and unreal. I tried to blow one of bubbles and it didn’t respond. It is a quite simple trick but since playing is the main menu offered by the Bubbles, nobody seems to interest to try.
Maastricht, Sept 27, 2006

Monday, July 31, 2006

Cacing

Seminggu belakangan ini saya bolak-balik ke laboratorium klinik. Mulanya saya mendatangi laboratorium klinik Pramita di kawasan buncit, Jakarta Selatan. Saya langsung dihadapkan dengan aktivitas mengerikan: pengambilan sampel darah!!! Saya membenci jarum sejak dahulu kala. Tetapi apa boleh buat, demi cita-cita terpaksa saya relakan darah saya disedot dari pergelangan. Petugas hanya senyam-senyum melihat tampang pucat saya saat dia menancapkan jarum di lengan kanan. Alhamdulillah pengambilan darah selesai. Sekarang urine, hmmm, syukur bisa keluar juga. Lalu feses, aduhh, setelah sekian lama merenung dan melakukan beberapa kontraksi ringan keluar juga. Heheheh. Aneh deh, seuprit tokay rasanya berharga banget saat itu.
Sekarang pindah ruangan, ruang Rongent. Lancar. Pemeriksaan fisik lancar. Saya baru sadar akan nikmat kesehatan. Meski saya suka sembarangan menggunakan tubuh saya ini, tapi alhamdulillah dia belum pernah sampai mogok dan diparkir di rumah sakit. Mata saya, yang juga sering saya gunakan seenaknya, masih mampu mengindra huruf terkecil yang diajukan dokter. Syukurlah semua selesai.
Tapi kelegaan saya hanya sementara. Saya masih harus menjalani vaksinasi MMR (mumps, measle, dan Rubella), semacam imunisasi untuk penyakit campak Jerman. Saya melakukannya di MMC. Kembali bergidik saat jarum dokter menikam pergelangan kiri saya. Horee akhirnya selesai juga!!!
Ternyata belum saudara-saudara. Saya masih harus menjalani pemeriksaan cacing filarial yang menyebabkan timbulnya penyakit kaki gajah. Menilik ukuran kaki saya ini, mustahil rasanya itu cacing pernah bersarang. Tapi bagaimanapun persyaratan ini harus dijalankan. Pengambilan darah harus dilakukan 3 kali selama 3 hari berturut-turut. Dan, ya ini yang paling parah, harus jam 12 tengah malam!!! Kenapa? Karena, menurut seorang teman, cacing jenis ini baru akan aktif pas midnight. Rese banget ya??. Saat perawat sedang mengambil darah, saya sempat menanyakan kabar si cacing. Ternyata, sebelum jam 12 malam, si cacing daerah tropis ini adanya di jaringan, bukan di dalam darah. So untuk memeriksa eksistensi makhluk halus ini mau tidak mau harus menunggu tengah malam.
Sehari berselang dari pemeriksaan terkahir hasil keluar. Syukurnya itu cacing tidak ditemukan. Phuiih, boleh berlega diri sebentar. Tapi jalan masih panjang menuju Maastricht. Semoga Allah mempermudah.

Friday, March 17, 2006

Kasih Ibu Part I

Seorang kawan bertanya, kapan terakhir Anda menangis? Saya langsung menemukan jawabannya. Saya menangis minggu lalu saat menonton sebuah sinetron. Hah!? Iya, saya juga hampir tidak percaya, sebuah sinetron??.
Biasanya selama ini kalaupun mata saya secara tidak sengaja menangkap adegan sebuah sinetron, reaksi saya selalu kemarahan. Skenario yang kalau tidak ngejiplak atau maksa, akting pemain yang norak, ustad-ustad yang mau-maunya tampil di sinetron musyrik selalu menjadi sasaran makian saya. Tetapi sinetron yang saya nonton sekitar dua minggu lalu itu memang agak berbeda.
Sinetron yang ditayangkan di RCTI tersebut berjudul "Kekuatan Doa". Ceritanya tentang seorang anak yang durhaka kepada ibunya lalu mengalami depresi akibat penyesalan yang sangat mendalam. Klise ya? Ceritanya memang biasa-biasa saja, akting pemain dan cara bertuturnya sangat luar biasa untuk ukuran sebuah sinetron.
Akting Dewi Yull sebagai seorang ibu sangat memikat. Dia tidak menjadi sosok manusia setengah malaikat seperti pada karakter-karakter protagonis yang umum ditemukan di sinetron-sinetron kita. Dia hanya seorang ibu sederhana yang rajin berdoa, meski demikian dia tetap manusia yang sempat khilaf lalu kembali berusaha memperbaiki keadaan.
Beberapa scene sinetron ini sangat membekas diingatan. Salah satunya saat sang anak, bernama Iman, sedang depresi di ruang rawat sebuah rumah sakit jiwa. Penyesalan yang begitu dalam membuat kata-kata tercerabut dari jiwa Iman. Dia hanya mampu melukiskan sesalnya dalam tulisan-tulisan pendek. Saya merinding saat sang Ibu berlari keruangan tempat Iman di rawat dan menemukan dinding kamar penuh dengan tempelan tulisan, "Ibu maafin Iman,". Ceceran kertas berisi tulisan Iman juga memenuhi koridor rumah sakit, dan di ujung koridor Iman terduduk, mengambil kertas demi kertas, mengisinya dengan permintaan maaf terus menerus. Indah dan mengharukan kan?
Sebenarnya buat saya, terlepas dari keberhasilan teknis sinetron ini, topik tentang kasih sayang seorang Ibu sangat bersinggungan secara emosional dengan saya. Ibu saya sudah almarhum, beliau meninggal dunia bulan Juni 2005 lalu setelah sebelumnya sempat koma selama enam bulan.
Awal tahun 2005, Ibu saya jatuh di kamar mandi. Terjadi pendarahaan di otak, beliau segera dilarikan ke rumah sakit. Saya segera mengambil cuti, Ibu tidak pernah diopname, sekarang beliau masuk ICU, pasti masalahnya serius. Hari kedua, Ibu mulai bisa sedikit berbicara, dan yang dia tanyakan adalah kondisi saya, apakah saya sehat? Di ujung lorong kesadarannya dia masih sempat memikirkan saya.
Hari-hari berikutnya, Ibu hanya tertidur dengan dengkur yang lembut. Saya menemaninya di ruang ICU. Sesekali mengaji didekatnya, memperhatikan apakah cairan infusnya masih ada atau sudah habis, menjaga agar pakaiannya tidak tersingkap, dan membantu suster memandikannya saat pagi hari.
Dua hari, tiga hari, lima hari, Ibu masih diam seribu bahasa. Hanya matanya yang sesekali terbuka. Hari-hari berikutnya kondisinya masih sama. Satu-satunya kata yang kerap diucapkan Ibu saya adalah, "Allah", saya agak berbesar hati dengan hal ini. Seorang teman berkata, "Orang yang senantiasa mengingat Allah dalam keadaan apapun, jiwanya tidak pernah mati,".
Tapi lambat laun saya kembali khawatir. Ibu belum menunjukkan kemajuan berarti. Sementara jatah cuti saya sudah hampir habis. Bagaimana ini? Saya tidak mungkin meninggalkan pekerjaan, bagaimanapun butuh biaya, untuk saya, dan untuk bantu-bantu ibu berobat. Akhirnya dengan berat hati saya pun kembali ke Jakarta. Saya bukan khawatir Ibu tidak ada yang menjaga, saya yakin kakak-kakak akan sangat telaten merawat Ibu, yang membuat saya sedih adalah kenapa kesempatan saya merawat beliau sangat singkat.
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan berlalu. Ibu masih dalam keadaan koma. Saya makin meradang. Saya tidak bisa membayangkan betapa sakitnya beliau, berbulan-bulan harus makan melalui selang. Saya pun mulai berpikir, kalau memang Ibu harus menghadap Allah, saya ikhlas, saya hanya berdoa agar beliau disembuhkan segera atau dimudahkan jalannya.
Bulan Juni, saya menerima kabar bahwa Ibu dipanggil Allah. Saya menangis sebentar lalu segera pulang kampung lagi. Ibu saya sudah dipanggil oleh pemiliknya, saya tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya saja sampai saat ini setiap melihat sosok ibu tua, saya langsung berkaca-kaca, saya teringat akan ibu saya.
Manusia memang cenderung berpuas diri, demikian juga saya. Saya merasa sudah menjadi anak yang lumayan berbakti dengan merawat ibu saya saat beliau sakit. Rasa sombong ini bercokol di hati saya sampai suatu hari saya mendapat tugas mewawancara seorang dokter jantung anak di Rumah Sakit Harapan Kita. Saat menunggu dokter datang, saya menyempatkan diri membaca tempelan-tempelan tulisan di majalah dinding rumah sakit.
Ada sebuah fotocopy tulisan Anis Matta yang ditempel disana. Tulisan ini berkisah tentang seorang anak muda yang hidup di jaman Umar Bin Khattab. Anak muda tersebut sangat berbakti kepada ibunya, dia merawat ibunya saat sedang sakit, menyuapi makanan, membersihkan kotoran, menggendongnya saat beliau lumpuh, dan mengusung jenazahnya ke pemakaman.
Setelah memakamkan ibunya, anak muda tersebut bertanya kepada Umar, "wahai Umar, apakah aku sudah dapat membalas budi baik ibuku,". Saya tidak sabar melanjutkan membaca. Karena sekali waktu pertanyaan ini sempat melintas di kepala saya juga. "Tidak!" jawab Umar mengangetkan saya. "Ibu mu merawat engkau seraya berharap akan kesembuhan mu, sementara engkau merawat Ibu mu sambil menantikan kematiannya,".
Palu godam raksasa menghantam kepala saya. Saya kembali menangis.
Note: Foto di atas adalah foto seorang Ibu bersama anaknya di tenda pengungsian di Aceh.

Thursday, March 16, 2006

Masjid dan Tsunami


Tuesday, December 06, 2005

FRENCH KISS

Pernah nonton film French Kiss? Saya baru menontonnya bulan lalu, saat di putar di salah satu stasiun TV swasta. Kalau ada movie mania, pasti bakal komentar, “basi banget lu! Kemane aje! Itu pan pelem keluar jaman orde baru! Please dechh...!,” Oke-oke, saya ngaku. Saya memang terlambat menonton film ini. Berhubung masih dalam suasana Idul Fitri 1426 Hijriah, saya mohon maaf atas keterlambatan saya.

French Kiss bercerita tentang Kate (Meg Ryan), wanita yang memiliki phobia terbang tetapi tetap nekad naik pesawat ke Paris untuk mengejar tunangannya Charlie (Timothy Hutton) yang telah berkhianat. Keadaan menjadi tidak terkendali saat Kate bertemu dengan Luc Teyssier (Kevin Kline), pencuri kalung yang memanfaatkan Kate untuk menyelundupkan barang curiannya. Singkat cerita, Kate jatuh cinta pada Luc, dan melupakan Charlie.

Cerita film ini memang klise dan mudah ditebak. Seorang kritikus menyebutkan satu-satunya kelebihan film ini adalah kemampuannya menghadirkan sisi-sisi indah alam Perancis. Sementara karakter kedua tokoh utama dianggap lifeless. Mungkin film ini tidak terlalu istimewa, tetapi saya tetap berniat memiliki dvd/vcd nya suatu saat nanti. Saya terlalu berbaik sangka dengan pembuat film. Saya percaya, setidak-tidaknya ada satu kejadian nyata yang nyaris menyerupai cerita di film. Ada dua adegan di French Kiss yang mampu mengelisahkan saya.

Dari awal film dimulai, saya sudah deg-degan, saya takut kalau adegan ini muncul, dan ternyata dia memang muncul: Charlie yang sedang berada di Paris menelepon Kate dan berkata. "…I am so happy! I met a women, a goddess! Lalu, Charlie melengkapi penderitaan saya, “I will not coming back, I’m in love, Kate!”

Saya tidak pernah menyukai cerita atau berita perselingkuhan. Saya pernah hampir tidak bisa tidur setelah menonton 'House of Sand and Fog', padahal affair antara Kathy dan Lester bukanlah isu utama yang ingin diangkat dalam film besutan sutradara Vadim Perelman ini.

Ada yang aneh dengan ketidaksukaan saya terhadap isu selingkuh. Mirip candu, saya tahu saya akan menderita tetapi saya juga ingin terus merasakannya. Saya pun curi-curi baca Novel asli 'House of Sand and Fog' di QB. Saya coba mencari sebab kenapa Lester berselingkuh. Saya jajagi sensasi yang dirasakan Lester dan Kathy. Saya rekam detil adegan saat Lester meninggalkan keluarganya.

Sudah diduga, keputusan saya melakukan ini semua salah. Akhirnya saya tetap menjadi Carol, istri Lester yang menjadi korban perselingkuhan. Saya pun kembali 'kurang' bisa tidur setelah membaca Novel yang tidak saya beli tersebut. Saya mengalami, sebut saja "affair sickness". Gejalanya adalah sedih tanpa alasan, sakit kepala, kadang-kadang disertai mual, dan gejala paling umum susah tidur. Keluhan ini sering saya rasakan setelah membaca cerita atau berita mengenai perselingkuhan.

Seorang teman pernah merasa heran dengan saya, "Kok loe terlibat banget sih?, Itu kan masalah orang, bukan masalah loe," ujar teman tersebut. Entahlah, saya pun tidak mengerti. Sebagai jomblo terhormat saya memang tidak pernah patah hati. Tapi percayalah, kepedulian saya terhadap derita korban perselingkuhan sama besarnya dengan kepedulian saya terhadap anak-anak korban tsunami.

Masalah yang sama muncul setelah menonton adegan Charlie menelepon Kate.. Saya pun mulai mempertanyakan eksistensi cinta. Hanya dengan alasan a goddess, happiness, dan I’m in love, Charlie pergi. Begitu tidak bisa diandalkannya cinta manusia. Saya sampai pada sebuah kesimpulan yang belum cukup meyakinkan: kemanusian tidak terlalu membutuhkan cinta. Toh, dengan hidup normal dan berbuat baik dengan sesama, dunia juga akan tetap indah.

Seorang teman pernah berkata, “mencintai adalah berani menyerahkan diri kepada ketidakpastian,”. Menurut saya itu adalah kebodohan. Sorry aje ye, maut nyang udeh jelas kagak pasti aje masih ade asuransi jiwe, iye kagak bang?

"Tapi cinta itu juga penting," ujar seorang rekan kerja di kantor saya. Saya tidak sependapat, tapi juga tidak tega membantah. Teman saya itu sepertinya sangat mencintai suami dan kedua anaknya. Akhirnya saya hanya berkomentar, "kalaupun harus terpaksa mencintai, berikan setengah saja hatimu,". Karena, menurut saya, kalau orang yang kita cintai itu ternyata tidak setia, maka kita tidak akan terlalu kehilangan. Separuh hati kita masih milik kita sendiri.

Kembali ke French Kiss. Gejala "affair sickness", meski tidak terlalu berat, kembali menyerang saya setelah adegan Charlie menelepon Kate. Sempat terlintas untuk mematikan televisi dan mencoba tidur mumpung gejalanya belum sampai ke stadium akut. Tetapi saya masih penasaran dengan pengejaran yang dilakukan Kate.

Beruntunglah saya tidak jadi mematikan TV. Karena dipertengahan film muncul sebuah adegan yang cukup melegakan Adegan ini adalah adegan kedua yang berkesan buat saya. Saat sedang menemani Kate mengejar Charlie, Luc menghibur Kate dengan berkata bahwa hidup Kate akan baik-baik saja. Suatu saat Kate akan melupakan Charlie, "…first you forget his chin, than his nose,…one day you wake up and his gone" ujar Luc dengan bahasa Inggris beraksen Perancis yang kental.

Byar!!! Seperti ada lampu neon mendadak menyala terang di kepala saya. Saya baru sadar bahwa selama ini saya melupakan suatu potensi asasi manusi: Lupa. Apa!? Iya, lupa! Maksud saya L-U-P-A!.

Manusia merasa berhasil mempertahankan ribuan tahun peradaban dengan kecemerlangan otak dalam mencipta. Padahal salah satu kelemahan otak, yaitu sifat pelupa, justru berperan tidak kalah pentingnya dalam mempertahankan eksistensi peradaban. Bayangkan betapa menderitanya manusia jika kita masih mengingat semua perang, bencana alam, dan derita pahit lainnya yang pernah terjadi.

Ah, Luc memang hebat. Saya salut. Malam itu saya bisa tidur dengan agak lega. Saya yakin saudara-saudara saya yang menderita akibat diselingkuhi akan segera baik-baik saja. Pelan-pelan mereka akan melupakan lalu kembali bisa menikmati hari, sebagaimana Luc menikmati setiap tetes anggur Perancis. Hmm...





Monday, November 07, 2005

Creambath

Kalau ada teman yang iseng bertanya, bagian tubuh saya yang mana yang paling senang menerima sentuhan? Saya akan segera menemukan jawabannya: kepala! Iya, kepala! Maksud saya kepala yang ada rambutnya. Eh, tunggu dulu, jangan sampai salah paham, maksudnya adalah kepala tempat otak saya yang tidak begitu cemerlang itu bersemayam. Bagaimana? Jelaskan kepala mana yang saya maksud?

Semenjak kecil kepala saya memang senang menerima sentuhan. Tentunya bukan sentuhan dalam bentuk jitakan dan pitesan. Tetapi pijitan dan, kalau boleh sih, belaian. He..he..he. Saya ingat persis, waktu masih SD dulu, setiap menjelang lebaran dan hari raya haji, bapak membawa saya ke tukang cukur. Begitu tangan tukang cukur itu nempel di kepala saya, saya langsung terbuai. Dunia terasa damai. Saya kerap terlelap, sampai bapak membangunkan dan mengajak saya pulang.

Kesenangan saya itu ternyata berlanjut sampai hari ini. Sentuhan tangan tukang cukur di kepala menjadi salah satu sarana rekreasi buat saya. Pijatan yang agak sedikit keras bisa mereduksi stress dan penat-penat sehabis mencari nafkah untuk sesuap nasi dan selembar tiket 21. Jangan heran, rambut saya selalu pendek. Bukannya ingin bergaya army look tetapi karena saya mencari pijitan saat cukuran.

Karena saya manusia biasa yang tidak pernah puas, maka saya pun mencoba yang namanya creambath. Syukurlah beberapa barber shop di Jakarta menyediakan layanan ini, karena saya masih agak-agak risih masuk salon. Tujuan utama saya creambath, bisa ditebak, bukan untuk merawat rambut saya yang mulai rontok, tetapi untuk merasakan sentuhan di kepala saya. Creambath memang lebih istimewa, karena selain dipijit, kepala kita juga bisa merasakan sensasi sejuk saat krim yang baru dikeluarkan dari pendingin dibalurkan ke seluruh rambut dan kulit kepala. Rasanya? Ruarrrrrr biasa! Saya susah menceritakannya, tapi yang jelas dunia terasa lebih indah berwarna.

Tetapi ternyata tidak semua orang sreg, melihat laki-laki creambath. Seorang rekan kerja saya pernah berkomentar miring. "Gue yang cewek saja nggak pernah creambath," ujarnya nyinyir. Saya diam saja waktu itu. Sebenarnya saya yakin, kalau ada voucher creambath gratis, pasti rekan tersebut rajin ke salon. Tapi sudahlah, saya sedang malas ribut. Saya hanya berangan-angan, seandainya dia sesekali creambath, mungkin pikirannya tidak sepicik itu.

Saya setuju dengan identitas seksual. Bagaimanapun ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Laki-laki tidak bisa melahirkan bukan? Tetapi ketika identitas seksual itu dipaksa muncul dalam hal-hal yang tidak perlu, rasanya norak dan hipokrit. Saya punya sedikit cerita tambahan mengenai masalah ini.

Saat masih kuliah dulu saya pernah mendapatkan tugas kelompok untuk melakukan semacam studi disebuah daerah pinggiran. Selama beberapa waktu kita tinggal berkelompok ditempat itu. Interaksi dengan teman satu kelompok membuat masing-masing bisa melihat warna berbeda dari setiap anggota kelompok.

Ada seorang teman yang sampai saat ini masih saya ingat. Teman tersebut adalah laki-laki yang sangat bangga dengan kelaki-lakiannya. Setiap saat dia selalu ingin tampil laki. Misalnya, pasang muka seram, kalau jalan prok-prok, eh itu mah kapiten ya? Maksud saya, kalau jalan bahu selalu diangkat, kaki di buka lebar-lebar, dan langkah diseret panjang dan berat.

Teman tersebut selalu berusaha membuat saya ternganga dengan pengalaman hidupnya yang keras, dengan olahraga-olahraga berat yang pernah ditekuninya, dan hal-hal macho lainnya yang pernah dia ikuti. Saya berusaha mendengarkan. Buat saya tidak masalah, toh itu adalah warna berbeda yang ada disekitar saya.

Tetapi saya mulai terusik ketika rekan tersebut mulai mengintervensi kebiasaan teman yang lain. Dia mulai suka mengkomplain apapun hal yang menurut dia tidak laki. Ketidakbisaan saya main catur kerap menjadi bahan celaan. Tindakan paling menyebalkan adalah saat dia marah-marah ketika seorang teman wanita memutar kaset Krisdayanti. "Musik begitu kok didengarkan," ujarnya. Besoknya dia memutar keras-keras kaset trash metal sampai seluruh kelompok tidak bisa tidur.

Saya kesal, tetapi demi mendapatkan nilai yang bagus saya harus bersabar. Saya mengalihkan kemarahan dengan bersih-bersih rumah. Saat sedang mengatur barang-barang, sesuatu meluncur dari ransel milik teman saya tersebut. Saya kaget bukan kepalang ketika memungut barang tersebut, tahu tidak barang apakah itu : CITRA WHITE BEAUTY LOTION! Gilaa! Teman yang semacho itu?.

Semenjak saat itu saya tidak pernah marah kepada teman tersebut. Saya hanya tersenyum geli setiap kali dia memamerkan kemachoannya. Saya membayangkan dia mendengarkan musik Sepultura sambil mengoleskan Citra keseluruh tubuh. Ha ha ha!